Minggu, 01 Juni 2014

Cerita Singkat Maulana, Penjual Keripik Pisang Dari Dawuhan

Hidup memang terkadang penuh dengan cerita haru dan menyentuh hati. Hanya saja kita menutup hati dan mata untuk merasakan dan melihatnya. Padahal, banyak cerita haru dan menyentuh hati yang mungkin ada di sekitar kita. Sangat dekat saat kamu membaca tulisan ini. Cobalah lihat sekitar, tengok kanan dan kiri. Atau ingat kegiatanmu hari ini. Pasti kamu temukan satu.

Hari ini aku punya satu. Sebuah cerita tentang Maulana, seorang anak usia belasan tahun dari Dawuhan, sebuah desa di Banyumas. Maulana ini awalnya terlihat seperti anak-anak yang lain di SPBU ini, duduk-duduk di area hijau. Kebetulan SPBU ini sedang ramai, banyak orang yang antri mengisi BBM, keluarga yang istirahat di rest area, pemuda yang belanja di mini market dan ABG yang lagi duduk santai di sudut cafe. Awalnya aku hanya melihat Maulana saja yang sedang duduk dibawah tiang lampu. Tetapi tiba-tiba aku merasa aneh dengan apa yang ada di dekatnya. Sebuah keranjang besar yang kosong dan beberapa bungkus keripik pisang.

Kemudian aku perhatikan dengan seksama, Maulana ini tidak memakai alas kaki. Matanya menatap penuh harap ke arah mini market dan cafe di salah satu sudut SPBU. Karena di dua tempat itu banyak orang keluar masuk. Kaos dan celananya sekilas berwarna sama. Oranye. Hanya saja kaos yang dipakainya sudah tampak lusuh. Aku lepas helm dan menaruhnya di spion motor. "Jualan apa dek?", aku bertanya sambil mendekati keripik pisang yang digelar di atas plastik hitam. Setelah aku perhatikan dengan seksama, ternyata plastik hitam ini adalah tas kresek hitam yang ditata berjejer saling menumpuk. Mungkin fungsinya menjadi alas untuk keripik pisang yang diletakkan di atasnya.

"Saya jualan keripik pisang untuk bantu Ibu cari duit pak. Belum lama ini Bapak meninggal dunia. Beli keripik pisangnya pak. Satu bungkus harganya sembilan ribu pak. Harga pasnya delapan ribu", aku tatap wajah Maulana dari dekat. Wajah polos seorang anak belasan tahun yang pasti belum lama menjadi seorang pedagang. Yang ia tahu mungkin hanya bagaimana caranya mencari uang untuk menyambung hidup.

Setelah mendengar kalimat pertamanya dan melihat wajahnya, aku melangkah mendekati Maulana. Aku mengambil posisi duduk di samping Maulana. Sambil aku mengambil posisi duduk, aku lihat kaki Maulana. Memang benar, kaki kotor ini adalah kaki-kaki penuh perjuangan dan pengorbanan. Tanpa alas kaki, jari dan mata kaki Maulana tampak kotor. Beberapa coretan tanah menempel jelas di kulit kakinya. Kuku kakinya pun tampak hitam. Mungkin ada banyak tanah dan lumpur yang masuk kedalam sela-sela kukunya. Atau mungkin ia berjalan kaki ke SPBU ini dari rumahnya di Dawuhan melewati sawah dan kebun.

"Namamu siapa?"

"Namaku Maulana pak."

"Sudah lama jualan disini?"

"Belum pak, baru jualan tadi jam setengah empat. Eh, berangkat jualan tadi jam dua siang pak, jualan di sini mulai jam empat tadi."

"Rumahmu dimana?"

"Rumahku di Dawuhan pak. Dekat kuburan Bupati. Kalau dari sini sebelum kuburan."

"Ibu kerja apa?"

"Ibu kerja nyuci baju, kadang jualan gorengan di Sokaraja. Kalau sedang tidak jualan gorengan, Ibu juga ngurus kebun."

"Kebun sendiri?"

"Iya pak, kebun sendiri. Kadang juga Ibu ngurus kebunnya Bu Lik. Karena Bu Lik kerja jadi pegawai, Bu Lik gak bisa ngurus kebun sendiri. Bu Lik jadi pegawai tapi nggak mau pengertian bantu saudara."

"Kebunnya isi apa saja?"

"Pohon salak, pohon pisang, ada juga pohon kelapa."

"Punya kakak?"

"Gak punya pak. Dulu punya, tapi sudah meninggal. Kakak saya meninggal pas usia 12 tahun, saat saya usia 6 tahun."

"Punya adik?"

"Gak pak. Saya nggak punya adik."

"Berarti kamu anak tunggal ya?"

"Ya beginilah pak, anak tunggal yang saudaraan sama kucing. Haha"

"Haha, di rumah pelihara kucing?"

"Iya pak."

"Seneng kucing?"

"Iya pak. Sekalian buat teman juga sih."

"Sekarang kelas berapa?"

"Sekarang nggak sekolah pak. Setelah lulus SD saya nggak nerusin ke SMP."

"Nggak sekolah sudah berapa tahun?"

"Dua tahun pak."

"Berarti sekarang harusnya sudah kelas 2 SMP ya?"

"Iya pak."

"Kok nggak nerusin sekolah?"

"Setelah lulus SD, saya sudah janji untuk bantu Ibu cari uang pak. Jadi gak nerusin sekolah."

"Saya beli keripik pisangnya satu bungkus."

Tidak ada komentar: